SUSHI THE JAPANESE LEMPER Rewrote from October 2010...

Hari ini hatiku dirundung duka. Sanak saudaraku ada yang meninggal dunia. Entahlah, bagaimana mengungkapkannya. Dengan alasan yang juga tepat ataupun tidak, beliau meninggalkan kami dengan nama yang baik. Umur yang cukup matang. Pengalaman yang unik dan wah, ternyata air mata ini tetaplah mengalir.

Hah, apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Umur pun tak dapat di tanggung dan ditebak berapa jumlahnya. Dan tentu saja yang meninggal tak mungkin kan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Hanya Tuhan yang tahu.

Ngapain yah, main internet ah ke warnet.
Aku mau main sebentar ya, mumpung masih jam istirahat.
Yoa, jawab temanku santai. Dan kesantaian teman yang satu ini pun mengikuti langkahku menuju warnet terdekat dengan tempat Dinda bekerja. Dinda Bestari, tak lain seorang penulis sekaligus pengajar. Pekerjaannya sehari-hari menulis buku panduan belajar di sebuah tempat kursus yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Dinda enjoy sekali dengan pekerjaannya itu. Menulis, menggambar, mencetak dan yang terakhir, yang tak kalah seru, mengajar. Baginya tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan daripada melalui hari-hari bersama anak-anak murid yang bak pelangi. Itulah yang dia pernah katakan. Kalau ditanya berapa jumlah warna pelangi, mungkin Dinda akan bilang sejumlah kepala murid yang diajarnya. Hehehe, bukan berarti Dinda memiliki pelajaran ilmu pengetahuan alam yang buruk, tak lain karena mereka membuat hari-hari Dinda menjadi lebih indah dan bermanfaat. Lagipula. masing-masing muridnya memiliki warna dalam kehidupan mereka sendiri. Dimana warna-warna tersebut menjalin keindahan tersendiri bagi Dinda.
Ditilik dari latar belakang Dinda yang hampir, nyaris disebut umur yang angker, menurut Dinda, karena belum berkeluarga sendiri, Dinda masih
 menunggu seorang kekasih dari masa lalunya. Seorang pria yang dianggapnya spesial, seorang pria yang nyatanya berpendirian buruk. Seorang pria yang merenggut hati Dinda yang terdalam. Bagaimana sih awalnya?

Dulu Dinda berkenalan dengan pria yang dianggapnya ramah, tampan, pandai. Ternyata hari-hari yang dilalui Dinda tak seindah kenyataan luar dari pria tersebut. Pria ini dikenalnya di masa awal Dinda berkuliah. Dinda pun yang tak dengan begitu cepat menaruh hati pada awalnya, tengah-tengahnya malah jatuh hati begitu dalam dan bahkan menyisakan hampir seluruh waktunya untuk memikirkan pria ini.
Begitu gagah, sedap dipandang, dan wah mengasikkan sekali memandangi kedua belah juntaian kaki yang panjang dan jenjang. Yang kalu ditanya, Dinda kenapa sih cowok itu kok mampir terus di pikiranmu?
Biar kalo ciuman jinjit terus kakinya diangkat satu, plus sambil merem melek.
Apa lagi Din?
Bahunya itu lo, bikin Dinda kepingin jadi tukang pijit. Lebar. Kata Dinda. Kuat nggak Din? Hmm masa depan yang bagus Din. Kerjanya nanti di Tanjung Priuk, kuli angkut, jawab temannya iseng. Tapi bahu itu kan menunjukkan bahwa dia bisa memikul beban berat. Jawab Dinda yakin.
Apa lagi Din?
Pipinya lucu kaya bakpau. Diboongin kamu Din, lagi ngemut permen dia.
Apa lagi sih Din?
Tulisan tangannya rapi. Wah masa depan yang cerah Din, jadi tukang grafir. Sindirnya lagi. Betul itu, jawab yang lain sambil manggut-manggut penuh arti.
Bibirnya lucu yah? Kata Dinda sambil ngebayangin. Orang mah suka bibir tipis, Dinda malahan suka bibir begituan. Cela temannya. Iya, kayanya enak yah kalau dikecup. Tebal dan pagi-pagi disuguhi kecupan di kening. Aduh Dinda, Dinda. Ada ada saja pikiran anak kuliah yang terhitung masih hijau ini. Seiring jalannya waktu belajarnya di sebuah universitas yang cukup ternama, Dinda mencintai pria ini tanpa batas. Apa sih yang nggak dilakukan Dinda buat cowok ini? Huh jangan tanya.
Tetapi ternyata pria ini benar-benar membuat hati Dinda tertawan. Dinda adalah tipikal wanita yang menaruh masa depan dengan cukup berhati-hati.
Satu aja yang Dinda kepingin banget, yaitu jadi istrinya. Tapi jangan bilang-bilang cowok itu langsung yah, karena selain dia kakak kelas, mau ditaruh dimana muka Dinda kalau dia tahu? Bisa hibernasi seribu tahun kalau perlu. Atau ada yang lebih parah lagi? Yak, ada, jawab Dinda dengan pasti. Apa? Membenamkan kepala ke tanah seperti burung unta yang pernah ditontonnya di film kartun di televisi.
Kenapa sih Din?
Dengan cara seperti ini kan mana mungkin ada kesempatan pria lain untuk mampir ke hidupmu.
Dengan penuh keyakinan Dinda benar-benar membela diri. Ia berangan-angan suatu hari nanti pernikahannya akan bahagia bersanding bersamanya. Dinda terus menggali segala kebaikan dan menutupi segala kekurangannya. Dinda meyakinkan dirinya bahwa bila ada kesempatan, Dinda ingin mewujudkan keinginannya.
Udah ketua senat, dari kalangan keluarga yang sederhana pula. Memang kenapa Din, kok ngga nyari yang keluarga kaya. Ah, payah kamu. Ucap temannya. Nggak, Dinda mau yang kaya dia, kalau terlalu kaya Dinda entar dilupain. Kalau terlalu kaya Dinda dijadiin penunggu rumah, nggak bisa kerja, Dinda kan mau jadi wanita karier, anak kuliaaaahh. Nanti Dinda mau lulus dengan, hmm kalau bisa dengan nilai yang bagus. Hei Doel, panggil teman-teman Dinda mengejek. Waktu itu sih memang zamannya serial film kawakan itu. Belum lagi kalau terlalu kaya, nanti kerjanya ya ngurusin anak saja. Kalau terlalu kaya, dia banyak jamahannya, bisa membeli hati wanita manapun yang dia suka. Menurut Dinda, cinta masak dinilai dari uang? Kalau terlalu kaya Dinda kan nggak cantik, banyak kemungkinan Dinda ditinggalin. Kalau terlalu kaya, Dinda aja nggak punya modal kekayaan. Gimana bisa bersanding dengan orang yang kayak gitu. Dinda ini cuma perempuan yang ramah, pemalu dan tapi bijaksana, nggak kaya kalian yang nanyain Dinda terus. Cape ah. Bathin Dinda terkekeh sendiri mengulang perkataannya tadi, pemalu?
Apa lagi Din?
Dan kalau terlalu kaya Dinda nggak kuat kalau dia nanti punya istri lagi. Dinda mau banget pernikahan yang sakral dan ikatan yang kuat.

Mantap benar jawaban Dinda.

Selang waktu, Dinda berkenalan juga dengan si pujaan hati. Tak tanggung-tanggung sang pujaan hati tertarik untuk bekerja sama dengan Dinda. Dinda sendiri juga menginginkan berkenalan dengan pria ini. Kenapa yah? Dinda sudah rindu untuk berkenalan. Jauh dilubuk hatinya Dinda nggak tanggung-tanggung kalau pria ini jadi favoritnya. Kalau ditanya oleh teman sepermainan, dengan ramah Dinda mengelak, ah nggak kok, cuma sebatas teman. Jiah. Tapi kalau dikalangan teman-taman akrab dan sahabatnya, wuih pujian apa sih yang nggak dilontarkan Dinda tentang cowok ini? Ya bulu kakinya yang ,,,,, woi Dinda naksir orang Kalimantan. Apa sih maksud kalian? Tanya Dinda sebal. Dia kan orang Jawa. Sama dong kayak Dinda. Cocok kan, timpal Dinda. Iya Dinda naksir orang pribumi Kalimantan asli, alias Orang Utan ya Din. Nggak, bulu-bulu itu cuma numbuh di kaki kok. Timpal Dinda lagi. Ada pula yang menggoda Dinda dengan bilang, ah Dinda naksir maling jambu. Tuh, pengennya jalan bareng bawa galah. Dinda pengen kenalan sama jerapah yah Din?
Yaaak, terus aja, belok kiri lanjut. Seru Dinda nggak mau kalah kalau digoda. Tapi dalam hati Dinda girang juga menggali terus keindahan dan segala kebaikan pria idaman ini.
Apa lagi Din? Idungnya kaya jambu. Dinda jadi pengen ngerujak. Pengen banget Dinda bisa gigitin, gemes. Katanya lagi. Tiada gading yang tak retak, sindir temannya. Masak hidungnya kayak jambu Din. Tapi Dinda suka, jadi diam yah. Dinda suka, titik, dengan sedikit menjerit Dinda kesal dibuatnya.
Wah komplit yah Din, dari makanannya sampai alat buat ngambilnya juga dibawa-bawa yah Din.
Mana kepingin punya papan gilesan buat nyuci baju ya Din? Ledek temen-temennya. Iya dirumah nggak ada, Dinda terkekeh juga dengan ocehan teman-teman yang menggodanya itu. Habis mau gimana lagi, memang lucu kok nggak ketawa. Nanti garing dong, kalau nggak ketawa.
Rambutnya gimana Din? Tebel banget. Jawab Dinda mantap. Aku suka deh. Pake shampoo apa?
Terakhir Dinda terbawa emosi karena ada ikon shampoo yang melengkung sambil menuding, dan Dinda untuk sekali lagi diledek, kasian de loo. Pekik Dinda sendiri dalam hati. Nah lo Dinda.
Terus gimana Din, dengan pekerjaan barumu di ruang rapat?
Ada berita baru teman-teman, dia baru putus dengan pacarnya.
HOLI MOLI MACARONI.
Jawaban yang bagus buat Dinda.
Bertepatan dengan itu Dinda menjadi terharu. Duh, kenapa nggak mau jatuh cinta dari dulu, sama orang lain? Dari dulu ngapain aja? Nggak sreg dan kebanyakan mikir. Selalu ada kurangnya. Kalau sekarang, kan pas, Dinda sebentar lagi kan lulus kuliah, dan sang pria idaman itu akan menggandeng tangannya ke pelaminan dengan diiringi cucuk lampah menari-nari disertai gong yang gemerincing. Jujur kata doanya nggak terus menerus dan berlubang-lubang.
Tetapi sekali lagi Dinda beralasan tepat. Orang Jawa. Dinda kepingin pake baju kaya mama waktu menikah. Terus pake disanggul dan melati yang, lagi-lagi berjuntai-juntai. Disertai pesta adat tradisional lagi. Tersenyum sendiri Dinda berkhayal.

Duh Dinda, komplit deh.

Dinda yakin bisa deh kalau suatu saat bersanding dengan sang pujaan hati. Tapi kapan?
Tapi kan banyak yang kaya begitu Din. Liat aja, kamu sendiri kalau ngerjain soal ujian, bener berapa. Bener semua nggak? Dengar Dinda, toh kamu harus rela dan pasrah juga kan ngedapetin hasilnya. Istilahnya kalau kamu nggak ngedapetin semua yang ada pada dia toh masih ada harapan dong buat cowok yang lain buat ngedapetin kamu. Kasih kesempatan dong Din. Kamu sendiri gimana. Namanya orang naksir, kalau nggak dapetin semuanya, emang apa salahnya sih? Yah apa salahnya kalau dapat seumprit, atau ujung-ujungnya doang, beda tipis lah. Cing cay lah. Kan sesuai dengan nilai yang kamu dapetin, ya kan? Tuh ada option buat kamu. Karena sekarang dia kan lagi sendiri. Atau mungkin kamu yang option buat dia atau gimana sih? Karena toh kamu masih jomblo. Terkekeh-kekeh Dinda dalam hati. YESS kesempatan.

Agamanya apa sih? Tanya Dinda suatu kali memberanikan diri untuk bertanya kepada pria pujaannya itu ketika ada satu peluang untuk ditemani oleh Dinda.

Beda tipis. Aduh, jawab Dinda dalam hati setelah ditanya. Dinda yang berlatar belakang cukup karismatik, sedih dan berkeluh mendengarnya. Yah, kenapa mesti begini?
Baru saja Dinda jatuh cinta. Ternyata ujung-ujungnya tumpul. Gimana nih ngasahnya? Tanya Dinda.

Dinda berdoa.
Ketika aku berdoa Engkau mendengar, bahwa akhirnya aku jatuh cinta juga, tetapi kini Engkau memberikan jawaban yang benar-benar membuat aku patah arang.

Dengan sedih Dinda terdiam.

Oh, hanya itu jawaban Dinda lirih.
Hmm yasudah kepingin tahu aja kok, gimana tugas saya, kak? Tanya Dinda dibuat buat.
Pura-pura girang ya Din, tanya Dinda sendiri dalam hati. Hatinya kecut dibuatnya.
Dari pada dia, apa tuh agama kok beda tipis. Dia bikin sendiri ya agama kayak gitu. Bathin Dinda.
Diam seribu bahasa Dinda mengenang hal-hal itu. Itu sih sudah lebih dari belasan tahun yang lalu. Tapi perkataan teman-temannya berlarut-larut dalam pikirannya, dan kadang tanpa sadar, itu menjadi bisikan Dinda yang selalu meraung-raung dalam hati. Malam minggu itu Dinda cepat-cepat berganti baju dengan rok terusan pendek yang baru dipakainya sekali. Masih lumayan baru. Merah marun teruntum berselang-seling dan berrimpel-rimpel. Ngga bagus kamu pakai itu Din, seru mama. Lihat aja potongannya ngga sama.
Ih mama ini kan model. Tapi Dinda paling suka potongan atasannya, nggak terlalu terbuka dan berkerut-kerut dilengan. Waktu mengenakannya, Dinda teringat pria itu pernah usil nanya, emang bangga apanya sih dengan badan yang ,,,, dia tidak melanjutkan. Bahu yang mungil, suka deh, biar kalo pake kemben Jawa bagus. Jawab Dinda cepat. Dinda tidak tahu bahwa namanya adalah dodotan. Dan yang dimaksud Dinda adalah supaya pria itu mengerti maksud Dinda. Bahwa ada sesuatu harapan yang ingin diungkapkan oleh Dinda. Tapi dia malah melangkah, mesem-mesem dan meninggalkan Dinda. Salah ngomong apa sih. Bathin Dinda lagi.
Dinda terbungkuk-bungkuk dan terseok-seok malas sambil mengenakan sandal hotel yang memang masih baru dan belum pernah dipakai. Terkadang kakinya nampak terlihat hampir seperti huruf X, bisik Dinda dalam hati. Itu kalau dilihat dari atas sini barangkali, pikir Dinda. Habisan sandal hotel ini kegedean. Halah semua sandal Hotel memang kegedean. Akhir bulan lalu Dinda melancong dan menginap di beberapa hotel. Dan sandal itu pun tak luput dia perjuangkan untuk dibawa pulang. Untuk kenang-kenangan. Jawab Dinda lirih. Dinda suka juga kok yang gratisan. Memang, begitulah Dinda menghabiskan waktunya, bukannya bersenang-senang sambil mencari tambatan hati, malahan bepergian ke kota yang lebih jauh dan menyenangkan. Aku lebih suka ngumpulin duit buat belanja, atau buat jalan-jalan, seru lho, ujar Dinda bila ditanya. Dia tersadar juga bahwa kehidupan itu memang butuh uang. Uang yang cukup untuk bersenang-senang. Uang yang cukup untuk biaya hidup. Padahal dulu Dinda nggak kepingin menambatkan hati pada pria yang kaya raya. Ternyata uang juga membantu perkembangan cinta Dinda yang terus bertumbuh dalam dirinya. Tapi hati ini masih miliknya, jerit Dinda.

Malam itu Dinda ingin santai. Santai aja de ah. Seru Dinda dalam hati. Nggak kepingin pake selop tinggi wedges-ku yang abu-abu, atau selop hitam jepit kesayanganku atau apapun. Cuma kepingin nganyari sandal dari hotel itu. Masih baru. Dinda terkekeh dalam hati. Pusing. Pikir Dinda. Kayak naik wahana Kora-kora yang ada di Dufan. Terayun-ayun, terombang-ambing, naik-turun. Begitulah pikiran Dinda. Kapan jiwa dan raga ini berlabuh. Dan hanya pelabuhan di pria itu yang Dinda inginkan. Dinda setia kok. Tapi paling enak pengang layar, kuat dan kokoh. Bentuknya pun bagus. Mengingatkan Dinda pada pengorbanan dan kekokohan. Pengorbanan bahwa layar itu harus kedinginan ditiup angin. Bahkan angin yang bertiup haruslah kencang, supaya kapal melaju. Betapapun kuatnya sebuah kapal berlayar, kapal pada zaman dahulu sangat membutuhkan layar. Dan dengan topangan tiang-tiang layar itu begitu mengingatkan Dinda bahwa hidup itu harus memiliki kekuatan dan kekokohan serta kekuatan hati. Tapi apa kata nakhodanya tentang jodoh yah? Mana dong yang benar? Dinda benar-benar nggak karuan pikirannya. Kalut dan sedih luar biasa.
Hatinya tetap dirundung duka yang kedua setelah kepergian Pakdenya yang tertua. Jadi berpikir panjang tentang Tuhan dan kuasaNya. Sudah berdoa Tuhan. Malah dapat cobaan. Sedari semalaman Dinda ber-sms ria dan dijawab cukup kasar dan ogah-ogahan oleh salah satu teman baik sang pria pujaan itu.
Pernah suatu kali sejak beberapa bulan yang lalu Dinda mendapat kabar, bahwa pria itu telah menikah. Padahal, tahu nggak? Dinda sudah sejak pertama melontarkan pertanyaan tentang agama yang dianut pria itu mendoakan dalam hati bahwa sang pria untuk siapa tahu mau berpindah ke agamanya. Tapi Dinda belum percaya. Dia baru percaya setelah on line langsung dengan teman baik pria idamannya itu siang itu. Temannya ini baru ketemu lagi di Face Book setelah menghilang beberapa lama. Dan siang itu kebetulan sekali mereka berdua ketepatan bisa on line dan ngobrol sedikit.
Apa sih yang kamu cari Din?
Lho, nyatanya dia mau berhubungan dengan wanita yang beragama jauh berbeda dengan aku. Kenapa bergeser sedikit kok malah nggak mau?

Kamu liat keadaan ceweknya yang sekarang dong Din. Apa coba bedanya kamu sama ceweknya yang sekarang? Banyak. Segambreng. Terpekik hati Dinda saat itu. Lama setelah on line itu selesai.
Weks, lagi-lagi Dinda mual. Iya, wanita itu cantik luar biasa, indo, lebih langsing, tingginya sih sama, yah beda tipis lah. Kata Dinda meninggikan diri. Dikit-dikit kata-kata beda tipis itu terngiang. Namanya juga indo, lebih fasih lah bahasa Inggrisnya, nilainya juga memang bagus. Seru Dinda dalam hati. Lagi pula setahu Dinda, wanita indo itu datang dari keluarga yang sangat berada. Ayahnya memang bukan pejabat, tetapi seorang duta besar yang datang dari negeri seberang. Wuih, kalau kerumahnya, sebenarnya Dinda belum pernah masuk rumahnya, cuma pernah mampir di depan rumahnya, tetapi Dinda udah bisa ngebayangin perabot apa saja yang ada di dalamnya, decakan kagum pasti tersungging di bibir Dinda. Lagi pula pekerjaan ayahnya itulah yang setahu Dinda jadi impian pria idaman itu. Pernah suatu ketika itu, Dinda bercakap-cakap dengan pria itu, dan memang, pria itu sangat menginginkan dirinya untuk bekerja di kedutaan. Yasudahlah, bathin Dinda sendiri.
Kebetulan Dinda mengambil fakultas yang memang digemarinya. Pendidikan Bahasa Inggris. Karena menurut Dinda, baginya belajar bahasa menyenangkan. It’s going to be a party time, English is easy. I’m going to graduate easily. Palingan hidupku akan lebih terstruktur. Nggak usah puyeng-puyeng ngitung lagi. Masalahnya bukannya Dinda nggak mau dan nggak mampu berhitung. Justru Dinda angkatan terakhir kelas sains, pada zaman itu. Dan bercita-cita ingin menjadi arsitek. Tak dinyana keuangan keluarganya tidak mencukupi. Apa mau dikata, kata Dinda. Lagi-lagi soal uang. Suatu kali kelak aku mau jalan-jalan ke luar negeri, mencari cinta di luar negeri. Doa Dinda. Sampai kapan Dinda? Berapa umurmu? Itu kan dulu. Mengapa begitu mudah ke lain hati di saat umurmu tak karuan seperti ini? Tapi apa pula hasilnya? Lihat saja dia sudah nggak mungkin jadi milikmu. Lagi pula kesempatannya ada ngga? Dan bakalan kesampaian ngga? Alias mampu emang kamu Din? Uangmu kan kamu habiskan untuk terus berkelana. Dinda lagi-lagi terkekeh memikirkan betapa dia senang menikmati hasil keringatnya.
Tapi mana mungkin cinta mampir pada saat yang demikian cepat dikala liburan akhir pekan. Mungkin cuma kesengsem dan ah nggak, bukan tipe Dinda. Tresno jalaran soko kulino. Orang Jawa,,,, desis Dinda, sambil meninggikan nada dalam hati. Cinta itu hadir dalam jangka waktu yang lama dan pertemuannya harus intens sama seperti ketika Dinda bertemu dalam waktu yang cukup lama dulu itu. Benih ditabur, tumbuh, ada kesempatan bertemu, jatuh cinta, dan kenyataannya tumbuh dan berakar di hati Dinda hingga kini. Kalau cuma makan waktu semalaman, aduh itu sih film yang Dinda tonton, kayak One Fine Day aja. Dinda kan pemilih banget orangnya.

Lagi-lagi  cewek itu. Jawab Dinda. Hidungnya deh pasti yang bikin pria pujaannya kesengsem. Atau kulit putihnya? Mulus, mancung. Atau rambutnya yang panjang sepunggung dan berwarna tembaga.

Aduuuh sempurna banget. Pria itu pasti suka semua. Mirip Spritney Bears. Desis Dinda sebal, huh, ketimbang Britney Spears. Lemah lunglai Dinda mengiyakan juga.
Tapi apa daya ku?
Siapa sih aku.

Hal itu terus yang membuat Dinda gundah. Dinda nggak rela pria itu menyeberang terlalu jauh. Buat apa kan ada Dinda. Yang,,,,, beda tipis, terngiang lagi seraya menipis pula bibir Dinda.
Terakhir, malam itu, Dinda hampir menangis, dengan mengenakan kaca mata hitam yang dibelinya bersama keponakannya yang sudah hampir seumuran dia di kota seberang. Biar nggak kelihatan bengkaknya mataku, ujar Dinda dalam hati. Ketika pergi bersama, Gadis itu tidak banyak bercerita tentang pria yang dia inginkan. Hanya sendu, itulah yang digambarkan Dinda tentang keponakannya itu. Apa dia juga sedang jatuh cinta ya? Dan memikirkan seorang pria? Yang jelas bukan jatuh cinta pada tantenya. Dinda terkekeh mengenang saat pergi berdua itu. Dan dia hanya mendengar saja ketika Dinda berkenang-kenangan sedikit tentang, huh lagi-lagi, mungkin itu yang bakalan disahuti teman-teman akrabnya kalau tahu Dinda ngomongin pria itu lagi.

Dinda masih teringat bahkan sesudah jadian dengan cewek indo itu pria itu pernah sesekali memuji pekerjaannya. Bayangkan, didepan rekan-rekan sekerjanya. Wuii,,, awas kejedot langit-langit, sindir teman-teman akrabnya waktu Dinda berceloteh. Tapi pujian itu juga dilontarkan pada rekan yang lain, tambah Dinda dengan sedih. Dan kontan terdengar nada yang dimiringkan dan dibuat-buat, aaawww,,,, lagunya panjang dari datar lalu merendah, sedihnya, lanjut mereka. Tapi aku diberinya sedikit harapan, kami pernah makan berdua, hanya berdua dan itu pertama kali aku makan berduaan dengan cowok. Walau Cuma segelas es jeruk. Hmm, suara teman-temannya mendengung panjang, kemudian meninggi dengan bergumam, well-well. Dan itu terjadi sebelum aku bertanya tentang kepercayaannya, tambah Dinda. Kali ini teman-temannya pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka lagi sambil berguman-guman sendiri, manggut-manggut, melihat ke langit-langit, berkacak pinggang sebentar, pura-pura berpikir, kemudian mengetuk-ngetuk dahi sambil kemudian melipat tangan, berdecak sebentar, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Kelihatan sekali mereka nggak peduli sama aku. Pura-puranya itu loh. Bathin Dinda kesal. Do something guys, kata Dinda hampir menjerit. Kemudian ia mengecilkan suaranya seraya berkata, tapi kalau dia tahu, bagaimana ,,,,, suara itu memanjang dan menghilang. Tiba-tiba, aduh, seru Dinda. Jangan, jangan, jangan. Jangan dibilangin ya, please, jangan, kali ini Dinda memohon sambil mukanya berkerut-kerut lemas. Malu. Dinda berucap lirih dan perlahan. Gimana nanti jadinya kalau dia menganggapku biasa dan datar. Sambungnya lagi. Yasudahlah kalau memang itu rencanamu, Din, kita sih,,,, heh, mereka mendesah dan saling melirik. Kali ini Dinda membenamkan kepalanya diantara kedua tangannya yang terlipat. Mereka tidak melanjutkan percakapan mereka.

Dinda patah hati malam ini, mengetahui pria itu pergi untuk selamanya, toh Dinda bisa bersyukur, Dinda punya pekerjaan yang menyenangkan, itu kan salah satu jawaban doa Dinda, bisa makan malam yang enak. Toh Dinda masih bisa membiarkan dirinya bersenang-senang sementara dia dalam kesendirian. Dulu keadaan perekonomiannya nggak begitu bagus. Setidaknya jatah uang saku sangat ketat dari mama.
Sehari-hari sebelum Dinda on line dengan kakak kelas yang sahabat karib pria itu, tak jarang Dinda terus menerus menimbang-nimbang dan mengidam-idamkan pria itu dengan pria lain. Mengapa dia menclok di hatiku? Hmm kurang tepat, pikir Dinda, mampir, masih kurang tepat, bercengkerama, hampir tepat, oh aku tahu, bertumbuh dengan subur di hatiku. Tepat, masih ada lagi? Merenggut seluruh hati dan hidupku. Bingo. Tapi mana tahu apa yang telah diperbuatnya terhadapku? Oh, kali ini aku sendiri yang salah. Yah bagaimana dia bisa tahu bahwa aku mencintainya. Mencintainya? Tanyanya sendiri. Ya mencintainya. Malahan, aku sendiri yang melarang teman-temanku untuk memberi tahu mereka.

See from the bright side.

Dinda sering bergumam demikian, sekarang ini, yah, Dinda lagi happy, sedang menikmati santap malam hidangan kesukaan Dinda di Restoran Sushi yang ternama. Cozy juga sih tempatnya. Dan tempat itu pun beberapa kali dikunjungi pula oleh keluarga Dinda untuk bersantap ria.
Mas, biasa, ada PIN? Tanya Dinda sedikit norak dan kekanak-kanakan.
Dinda sering meminta Pin atau bros kecil yang bergelantungan di tubuh para awak restoran itu. Sudah beberapa yang dimilikinya. Dan malam itu dengan sedikit sok akrabnya Dinda mengulang permintaannya. Maksud hati sih di kala keadaannya dirundung kedukaan, Dinda mencoba untuk tidak menyia-nyiakan keadaan. Karena keadaan mendukung, yah apa boleh buat? Dulu pria itu pernah memberi Dinda sebuah Pin. MTV, begitu tulisan yang terukir di Pin itu. Dengan ornament batik di pinggirannya. Tapi sayang, pin itu lama-kelamaan hilang, entah kemana, padahal itu yang langsung Dinda dapatkan darinya. Dan barang-barang seperti itu kan berharga sekali. Aduh Dinda menyesal bukan kepalang. Tetapi Pin-pin barunya menjadi tonggak yang merefresh ingatan Dinda. Lambang persahabatan. Jawab pria itu. Yaa sahabat? Nada lirih Dinda memanjang sedih dalam hati. Jadi cuma ini? Kata Dinda lagi dalam hati. Dinda kecewa tapi terdiam dan menerimanya. Sini, jawab Dinda sebal bukan kepalang, seraya menarik dan desertai hentakan pula. Kecewanya,,, Dinda tanpa sengaja malam itu bersebelahan dengan pasangan yang double date. Pake kaos sama, suap-suapan. Duh mesranya. Aku nggak bakal bisa dalam waktu cepat mengalaminya. Pikir Dinda.
Dan Dinda cuma ingin unjuk gigi susu, tuh kan aku langganan di sini, sapa tau nanti giliranku, sama kayak kamu, nanti ya aku begitu juga, seru Dinda. Tapi sama siapa? Pilunya Dinda menyadari hal seperti itu.

Lagi-lagi. Pria itu, ia telah menikah, Dinda. Dinda terngiang dan sadar. Mencoba percaya tapi sulit dan sakit. Dan kemarin waktu ke warnet aku lihat sendiri foto-foto mesranya di Face Book, dengan, huh siapa lagi. Gendogannya yang mungil dan kembar, jagoan ciliknya dan lagi-lagi, wanita indo itu. Ditambah lagi gadis ciliknya yang begitu mungil polos dan tak tahu menahu bahwa ada sepasang mata yang sakit melihatnya. Sungguh seperti keluarga yang amat bahagia. Begitu ceria namun menyayat hati. Seperti dicabik-cabik Dinda rasanya. Perih dan menahan tangis di sela-sela biduk warnet yang setengah pribadi.
Semalaman Dinda dicuekin kakak kelasnya dengan sedikit judes dan memang sudah bosan menasihati Dinda yang katanya mengganggu jam tidurnya.
Nggak ada rasa empatinya banget sih. Blas. Logat Dinda keluar saking kesalnya.
Tapi tau diri sedikit dong, orang lagi patah hati. Boleh dong. Bisik Dinda dalam hati.
Tahu ngga sih kalau Dinda sudah jungkir balik dan bahkan mungkin nggak putus-putusnya berdoa. Tuhan kalau kehendakMu cawan ini lalu dari padaku. Seru Dinda. Lho kok, cawan?
Iya Dinda tahu, itu adalah cinta terlarang. Dan Dinda selalu bergumul, masa pria yang nggak tahu diri udah ditaksir Dinda, kok malah naksir cewek lain. Tapi, bathin Dinda, dia toh pintar yah, mencari wanita yang luar biasa lebih baik, dibanding Dinda. Ya dari segi materi, ya dari segi fisik, bahkan dari segi kepandaian atau otak. Dukungan pun tak ada. Teman-teman Dinda itu lo, kerjanya hanya mengolok dan mengejek.
Lebih parah lagi seingat Dinda, tak sedikit pun teman wanita Dinda yang lain tak sedikit jatuh hati padanya.
Aduh sekarang dunia sudah jungkir balik. Saingannya makin banyak. Ternyata nggak cuma wanita indo itu saja yang menjadi musuhnya. Wanita lain entah berbagai sifat dan perilaku dengan cueknya kirim salam melalui Dinda. Din, ketua senat itu cakep yah. Atau ada pula yang sekedar menggoda, seraya bilang, Halo Din, aku juga kagum lo sama pria Jawa itu, dia kemarin ngajak aku jalan-jalan sore loh, ujarnya sambil mengerjap-kerjap genit, abang becak, sambungnya lagi. Ups salah ya, dengan intonasi yang menggoda, betisnya beda Din, ternyata bukan dia ya. Ucapnya sambil terkekeh pergi meninggalkan Dinda yang cemburu, bingung, ingin tertawa. Halah, Dinda terpekik dalam hati.
Apa sih maksudnya semua ini. Tapi tahu dari mana anak ini. Bahwa selain berbulu, Dinda pun memuji bentuknya. Aduh, jerit Dinda. Tahan, tahan, tahan, suara itu tegas terdengar dalam diri Dinda.
Dan seingat Dinda ada pula sindiran keji seperti, betisnya bagus ya Din, nggak kaya,,, apa Din, pemain sepak bola? Wah padahal sebentar lagi kan piala dunia.
Apaan see, kan dari dulu Dinda terkagum-kagum dengan bentuk betis yang bagus. La abisan bentuk betis Dinda, ah pokoknya Dinda nggak suka. Buat memperbaiki keturunan. Bolak-balik Dinda berusaha meyakinkan diri. Ih dari mana sih mereka tahu itu, itu kan yang sering Dinda sebut-sebut tentang, aduh bocor, bocor. Itu masa lalu Dinda. Dinda terpaku berpikir panjang dan lama setelah temannya itu menggoda, Dinda terdiam. Cemburu, malu. Ternyata ada banyak wanita yang mengaguminya. Lah kan kamu sendiri milih yang cakep, ya dikerubuti lah. Nada suara dalam hati itu seperti mengejek seraya diiyakan juga olehnya.
Lagi pula sesuai dengan pilihan Dinda kan, Dinda kan Jawa, erang Dinda meyakinkan diri. Malahan tak berapa lama Dinda menyebutkannya datanglah teman lainnya yang perempuan, dan menyapa, hei aku juga Jawa loh, salam ya buat cowok mu itu. 

Lemah lunglai Dinda menelan sushi yang telah dihidangkan. Teringat pula cuplikan dan rentetan resensi sebuah film yang telah dibacanya dari sebuah majalah, dan rencananya bakal di tonton Dinda. Ih kok rada mirip yah, but I skip the word pray, and I hope I found my LOVE. Bathin Dinda tak karuan. Eat, Pray, and Love. Pemainnya kawakan dan cantik pula. Duh komplit, kayak mimpi Dinda tentang pria itu. Pria yang komplit.
Kenapa? Tak karuannya karena Dinda secara tak sengaja malam itu bersebelahan pula dengan sepasang jejaka yang makan berdua bak arisan bapak-bapak. Pikir Dinda. Dengar punya dengar, mereka salah satunya membicarakan seorang gadis. Ah, dia ngga cantik ah aku pikir, jawab yang jangkung, ketika yang agak ganteng berkata, mana mungkin, tuh, temannya lebih langsing. Huh lagi-lagi, brondong yang lebih muda dari umurku. Mahasiswa bau kencur. Atau jangan-jangan gadis yang dia bicarakan itu aku yah? Dinda terkekeh. GR nya, GR nya, GR nya. Tak sedikitpun ia terluka oleh penilaian kedua pria itu. Well, setidaknya mereka masih straight. Pikir Dinda. Apa coba yang dipikir orang lain kalau melihat mereka berdua makan malam berhadap-hadapan. Pegangan tangan dan meremas jari aja sekalian. Dinda terkekeh dalam hati.
Satu kali malam itu Dinda membutuhkan bubuk cabai. Entahlah apa namanya. Permisi, kata Dinda seraya mengambil poci kecil berisi bubuk cabai kering itu. Yah nggak papa. Kata salah seorang dari mereka. Wah, kok nggak bisa berkenalan yah. Tapi buat apa? Seberkas bayangan menghantui Dinda, kok pria-pria ini mengingatkan Dinda pada sesuatu? Iya yah, cowok dimana-mana mandang fisik. Ngga mandang hati. Apa coba yang mereka katakan tadi. Hmm itu juga terjadi pada ku, bathin Dinda lagi. Dinda terpaku dan melongohkan bibirnya kedepan, diam begitu lama sambil berpikir. Huh gara-gara mencuri dengar. Tapi bak memilih piranti dan perabot rumah tangga, Dinda maunya yang komplit. Mana ditambah pula dengan pekerjaan Dinda yang nota bene pengajar, papan tulis yang lebar disetiap Dinda mengajar, mengingatkan Dinda akan punggungnya yang bidang. Duh Mister Perfect-ku, bathin Dinda. Kamu sudah resmi menjadi milik orang lain.
Dinda teringat betapa otaknya kemudian kosong. Cuma berisi gas entah gas apa, setiap kali Dinda digoda. Pada detik-detik terakhir pria itu akan lulus kuliah, Dinda sedih. Dinda sering nggak bisa ngebedain mana dukungan dan mana ejekan atau cemooh. Kosong, speechless, yah tak bisa berkata apa-apa, bingung luar biasa. Tak terungkap kan apa yang dipirkan Dinda. yang dimaui cuma satu ini aja, kok yang disodorin bauanyak banget. Tak heran nilainya hancur luar biasa. Setiap hari kerjanya hanya terdiam, kadang menangis, dan kelulusannya berjalan lambat, sangat lambat. Bahkan masih kurang lagi penderitaan Dinda, kelulusannya masuk zona merah. Hampir delapan tahun Dinda baru memperoleh ijazah, tapi lulus. Puji Tuhan, ucap Dinda. Tapi perjalanan seperti apa yang harus Dinda jalanan dan kutempuh Tuhan. Lirih ia menggumam.

Pada saat kelulusan usai, ternyata perjalanan Dinda nggak berhenti disitu aja. Sekarang Dinda mau hidup, Tuhan. Tapi masih tetap ingin mencintai pria ini. Karena lebih nggak mungkin lagi Dinda mencari pria lain. Bisa-bisa beda agama. Kerinduan Dinda semakin mendalam, penuh ketakutan, jangan-jangan dia hampir menikah dengan wanita indo itu. Tapi walau hanya beberapa kali dalam sekian lama penantian Dinda, pria ini menelepon juga. Aduh, puji Tuhan. Seperti air sejuk menyirami dahaga Dinda yang berkecamuk dan mongering di hati ini, rindu sejadi-jadinya.
Tapi tetap dikatakannya bahwa dia menyayangi wanita indo itu. Dan tak pernah digubrisnya bila Dinda menanyakan tentang pernikahannya dengan wanita indo itu. Kapan? Udah? Tanya Dinda. Tapi suaranya,,, memang itu yah suaranya? Suara siapa sih diseberang sana. Pernah suatu ketika Dinda penasaran, merasa sumpek dan berteriak, ngga bisa ngomong sama orang ngga ada muka.
Bencana. Pikir Dinda terdiam, lalu menyudahi saja percakapan itu. Pusing. Migrain seperti diinjak-injak sih nggak. Tapi pasrah, tambah lagi patah semangat yang luar biasa. Lama ,,,, baru Dinda bangkit dan menyusun puing-puing yang dihancurkannya sendiri karena terus berpikir, dia tidak mencintaiku. Wanita indo itu pilihannya, aku hanya sahabatnya. Wanita indo, HUH. Tapi apa arti sahabat baginya. Dan aku?
Yah, lama, sangat lama Dinda menyusun kembali. Bukan, bukan puzzle yang sering hancur sendiri oleh pikiran-pikiran buruknya. Tapi piramida? Mirip, oh iya. Dinda teringat sumpit gila yang dimainkan muridnya. Dua sumpit yang diikat menjadi satu dengan sebuah karet dan diputar-putar-putar-putar terus tapi tetap menyatu, walaupun,,,, aduh, pasti pusing luar biasa menjadi kedua sumpit itu. Inilah pelangiku. Murid-muridku. Dan murid-murid yang lain adalah sahabat-sahabatku yang sepenanggungan. Dimana aku mengulang-ulang perkataanku sambil belajar dari ucapanku sendiri. Cinta itu lambat laun bertumbuh. Malah aku mendapat pelajaran dari muridku.

Sushi, sushi, bentukmu cantik-cantik, selain dari luar negeri, Jepang, ternyata di Jawa ada yang kaya kamu, namanya aja yang beda, tapi bahannya sedikit mirip, namanya Lemper. Pria pujaan yang selalu di benaknya itu mirip sushi. Sedikit terkekeh Dinda membayangkannya. Orang Jawa tapi T-O-B B-G-T S-K-L S-K-L. Tob abis. Cakep banget. Jarang kan, dan bahkan bisa diitung dengan jari cowok Jawa yang macho dan perlente. Ada juga sih, tapi  kebanyakan kan yang inggah-inggih dan lemes. Ah wayang kulit barang kali. Dinda terkekeh lagi membayangkan saudara-saudaranya yang sangat akrab bila ada pertemuan keluarga. Jawa banget. Bisik Dinda. Atau bisa jadi saking akrabnya jadi menunjukkan sifat dan kepribadian mereka yang sebenarnya yah? Sedangkan pria sempurna itu, bagaimana? Wah jangan-jangan dia pun suka mengupil kalau sedang sendiri. Desis Dinda yang karuan terkekeh sendiri dari lamunannya. Wah kalau begini apa sempurnanya. Tapi sesuatu yang sempurna pasti ada saja kekurangannya. Lihat dia begitu sempurna, tapi kekurangannya adalah, pria itu membuat hati Dinda pilu.
Lamunan itu pun membuyar. Tapi, lagi pula, awak pelayan restoran itu tidak memberikan seberkas cita-cita sedikitpun untuk lebih dalam lagi untuk mengenal kepribadiannya. Hmm kalau ingin melihat pembuatan sushi-sushi nikmat itu, lain lagi ceritanya. Nambah-nambah ilmu, apa salahnya sih. Want to know aja, pengen tau aja. Bisik Dinda dalam hati sambil dilagukan dan dipanjang-panjangkan seperti kebiasaanya kalau murid-muridnya bertanya yang tidak-tidak. Begitu juga pria-pria arisan bapak-bapak itu. Mana mungkin aku mengenal mereka? Sedang sushi-sushi enak ini? Hmm, sang pria idaman itu bagus banget bentuknya, rasanya nyaman berada di dekatnya. Ingin sekali rasanya memeluki bahunya, lengannya, ah sudahlah Dinda. Masakan kamu jadi orang Kalimantan juga sih, bergelayutan di bahu pria Jawa itu, lamunannya membuyar. Tapi walaupun kelihatan indah dipandang, isinya seperti wasabi campur tobiko pedas. Itu loh, sambal Jepang dan telur ikan. Ingat tidak jawabannya tentang apa yang dianutnya? Beda tipis, tapi nyakitin dan rasanya pedes. Walaupun seperti mint, tapi Dinda ngga suka. Sama kayak berita yang baru didengar Dinda.

Pikiran Dinda kalut. Dinda teringat rasa kopi macchiato. Kental, hitam pekat, dan pahit luar biasa. Diam-diam Dinda suka coba minum kopi. Tapi ngga boleh banyak-banyak, Din, gampang sakit jantung. Tapi Dinda agak bebal. Karena terlalu banyak mengenang saat-saat masih bersamanya, Dinda jadi sering ngeronda. Dan kalau Dinda ceritakan penyakit insomnianya. Aduh badai. Tapi suara itu membuat Dinda terkekeh, seraya sebuah lagu berdengung dengan sepotong liriknya yang diganti, dan membuat Dinda terkekeh. Bajaj pasti berlalu,, ah lagu dan film banyak yang mengingatkan Dinda untuk bangkit. Walau ada juga yang memeras perasaan Dinda.

Tapi mengapa harus menyalahkan dirimu Dinda? Bukan salahmu kamu seperti sekarang ini. Toh betisku yang chubby dan montok ini lucu kok kalau memakai panty hose. Dan perutku yang berisi ini menggemaskan dilihat dari angle yang tepat, dan nasib seorang wanita adalah memiliki perut yang lebih besar, dengan kehidupan baru didalamnya. Oo senangnya. Dinda terpekik dan tersenyum sendirian. Dan toh rambutku yang panjang dan ikal, dengan sedikit keriting ini, hmm nakal dan susah diatur. Tapi Dinda bangga memilikinya. Toh bibirku yang hitam manis ini berbelah sedikit dan mungil. Lucu kan. Toh aku pintar, dan pernah jadi anak sains. Toh aku punya bentuk tawa yang, hmm kali ini mungkin hanya Dinda sendiri yang menyukainya. Karena gigi Dinda tumbuh seenaknya, nakal juga dan susah diatur. Goda Dinda pada dirinya sendiri. Sebelum ada yang menghibur, aku mau mencintai diriku sendiri terlebih dahulu. Menghargainya dengan tulus, walaupun entah pria idaman itu berpendapat lain. Dan toh aku sekarang bisa mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidupku. Dan masih banyak toh yang lain.

Masih teringat pula wanita indo itu, dulu adalah temannya sekelas. Dan ada satu toh lagi. Toh aku nggak picisan naksir dan merebut cowok yang ditaksir teman sendiri. Yiey,,,, yang ini Dinda bergumam sendiri seraya terkekeh perlahan. Ih Dinda GR banget, NORAK. Seru Dinda dalam hati. Ya kalau sudah cinta mau apa lagi? When a man loves a woman, Din. Itu kan yang dikatakan dalam lagu? Bisik Dinda lagi. Aduh, mati aku. Terngiang semua kecantikan dan kesempurnaan wanita indo itu. Langsing banget sih?

Aduh Dinda jangan-jangan kamu kalau ada kesempatan berduaan dengan wanita indo itu malah berpegangan tangan seperti kedua arisan bapak-bapak itu deh, ledek hati Dinda sendiri. Iya yah, aku begitu memuja kedua orang itu. Hiks, cocoklah mereka berdua. Pasangan yang serasi. Aduh Tuhan. Kecewa sekali Dinda akan kenyataan yang diakuinya itu. Tapi toh mereka berdua memang serasi sekali. Masih teringat masa-masa mereka pacaran, bergandengan tangan di lorong-lorong kampus dan Dinda jadi teringat boneka yang dipajang dibeberapa toko mainan. Memang Dinda harus menelan kepahitan itu. Kejadian itu berlangsung setelah Dinda ternyata lolos, alias nggak masuk seleksi jadi pacarnya. Bukankah kepercayaan mereka berbeda? Dan Dinda nggak bisa menerima kenyataan ini.

Beberapa saat Dinda menulisi ponselnya, sambil curhat, apa aku harus mengorbankan kepercayaanku ya kak? Tanya Dinda. Pria ini toh sudah berbuat salah dengan menikahi wanita yang bukan dari kalangan kepercayaannya. Lagi pula kalau aku tetap keukeuh pada pendiriannku dan tetap percaya pada imanku dengan terus berusaha mendoakan pria ini, oh tidak, Dinda masih percaya hukum karma. Suatu saat Dinda bisa kena getahnya, dan apa pula yang akan terjadi dengan kedua jagoan ciliknya? Dalam perkembangan psikologi dan pendidikan yang dipelajari Dinda, itu akan berdampak negatif, bila seorang anak tumbuh tanpa memiliki keutuhan kedua orang tua di sampingnya. Tegas Dinda dalam hati.
Tapi, apa yang harus Dinda lakukan? Dinda bergumam, Tuhan, kalau Dinda nanti dapat penggantinya, Dinda mau Tuhan dan Dinda menjaga keutuhan hubungan Dinda dan pacar Dinda. Bagaimana bila ada yang lain nimbrung seperti Dinda ingin merusak hubungan yang dibina orang yang pernah Dinda cintai dan kagumi? Apalagi kalau sudah masuk pelaminan seperti pria itu? Aku nggak mau Tuhan, jagalah keutuhannya nanti. Ya, nanti. Nanti ya Tuhan, nanti. Tapi kapan? Bisik Dinda lirih.

Coba yah, dengar, sebentar-sebentar ejekan teman-temannya berdengung-dengung di kepala Dinda. Tapi itulah yang selalu mengingatkan Dinda pada dalamnya cinta Dinda saat itu.

Cakep, suara lirih Dinda menggumamkannya sambil terus terbayang wajah sang dambaan hati, ya pria jaim itu.
Kalau sudah ngumpul dengan teman-temannya Dinda senang banget berceloteh tentang pria ini, semangatnya berapi-api. Dan memang itulah Dinda. Mungkin kalau aku terus bersama pria itu, aku harus jaim seumur hidup yah. Lihat saja wanita indo itu, dewasa banget. Tentu itu yang menarik hatinya. Sedangkan aku? Huh berbanding terbalik dengan sifatku yang ekspresif.
Ya, cakep. Dinda sering bergumam atau dalam hati memujinya. Sekarang, lihat foto-fotonya di Face Book, ada bulu-bulu halus tumbuh di atas bibirnya. Iih mukanya jadi kaya bapak-bapak, Dinda kesal tapi nggak kecewa sama sekali. Diam-diam layar computer bertaburan kecupan. Rindu, kesal, ingin memeluk,,, halah lama-lama beli laptop sendiri deh biar bisa mantengin,,, terdiam Dinda sejenak, mantengin keluarga baru mantan bekas calon pacarnya itu? Begitu ujar suara kejam itu. Hiks hiks hiks. Panjang juga ya jabatannya, Dinda tersenyum pahit. Ternyata bukan mantan ketua senat FKIP saja yah.
Tapi lucunya kakak kelas yang lain tak jarang tiba-tiba dengan gayanya dibikin jaim bertanya iseng pada Dinda, Din cakep nggak, sambil memegangi dagunya dan memutar kesamping dan melirik Dinda. Cakep, desisnya sendiri. Dinda cuma ketawa meliriknya seraya berkata apaan sih yiey. Sewot.

Sedikit lagi Dinda pun teringat betapa pria idamannya itu telah lama ditinggal oleh ayahnya. Kedua orang tuanya bercerai ketika dia masih berumur 7 tahun. Ketika itu dia baru menginjak kelas 2 SD. Masih sangat muda. Tapi coba bayangkan. Itu akan menjadi dosa beruntun bila Dinda tetap menginginkan sang pria pujaanya itu.
Tapi Dinda kan sudah berdoa dan mendoakan dia berjuta kali Tuhan, seru Dinda manja. Tapi coba pikirkan, renungkan.

Segelas ocha kecil digenggamnya sambil melamun, dulu aku minum es jeruk dengannya di warung samping kampus yang penuh kenangan itu. Dan kemudian es jeruk jadi menu favoritku, desis Dinda mengenang. Cuma itu yang aku ingat. Dinda menengok ke tiang disampingnya yang berlapis kaca di restoran sushi itu, lihat ini aku, katanya lirih, lemper aja kok mahal. Pikirnya lagi. Tapi enak, tambahnya sambil menggoyang-goyangkan kaki dan sandalnya, iya sushi Jawa yang ganteng itu cuma bikin aku pilu aja.

Larut malam itu, ketika pusat perbelanjaan itu sudah hampir tutup, Dinda menempelkan kepalanya di samping pintu angkutan sambil terduduk diam di samping supir yang membawanya pulang. Letih. Perjalanan Dinda masih jauh, dan bagaimana nasibnya terhadap pria dambaan hatinya itu? Mengapa Dinda yang pandai masih juga dapat dibohongi kenyataan dunia. Bahwa mata Dindalah yang memilih cinta. Bahwa cinta itu dari mata turun ke hati. Bahwa sewaktu ada kesempatan bagi Dinda untuk bekerja sama dengan pria itu, dan mengukir kesan yang indah, malah ternyata ujungnya tumpul.
Betapa bodohnya Dinda merelakan hidupnya dengan sia-sia untuk tetap memikirkan dan berangan-angan dengan doanya untuk pria Jawa pujaannya itu. Bisa saja Dinda sayang luar biasa dengan fisik pria itu. Namun pria itu tak memandang dalamnya hati Dinda? Sekian tahun, berita yang terus menerus ditolak Dinda untuk dipercaya, walaupun pada akhirnya Dinda pun harus merelakan resminya pernikahan mereka. Kalaupun kedua jagoan itu belum ada, oh tidak Tuhan, pernikahan apapun harus dipisahkan oleh maut. Mereka saling mencinta. Bahkan Dinda pun mengakuinya. Mereka pasangan yang serasi. Masih terngiang ledekan teman-temannya dulu. Atau bisikan-bisikan hatinya. Ketika Dinda menginginkan apa yang benar-benar dia inginkan. Namun sesuatu itu ternyata tidak berpihak padanya. Karena Dinda berpikir, ya Tuhan aku kan di pihak yang lemah, pihak yang dipilih, bukan memilih. Ya, aku dipilih, bukan memilih, karena aku wanita. Cinta yang dalam saja tidak cukup membuat pria itu menjadi milikku. Rasa setia yang beriringan dengan tumbuhnya cinta itu sehingga begitu subur dan kuat dalam diriku pun tidak bisa membuat pria itu mau memilihku.

Doa yang kupanjatkan mungkin tidak sempurna. Bathin Dinda. Bukan doa yang salah, tapi jalan pikiran yang salah. Apa dayaku. Apa dayaku karena dia tidak mencintaiku? Ketika aku memilih untuk mencintainya, namun dia pergi dan tertambat di lain hati. Dinda memiliki apa Tuhan? Kan saat Dinda berbesar hati dan memuji diri sendiri, Dinda cuma ingin agar Dinda kuat. Tapi apa gunanya semua itu dibanding segala pemikiran Dinda dan jalan hidup yang telah Dinda lalui? Siapa sih Dinda itu? Dan kenapa sih pria itu kok nggak mau sama Dinda. Tapi malah merelakan apa yang dianutnya demi cinta. Padahal masa nggak ada sedikit cahaya yang menunjukan bahwa cinta Dinda bertaut. Kalau saja Dinda nggak membohongi diri sendiri atau membohongi pria itu pula dengan mengungkapkan isi hati Dinda. Hah? Nembak gitu?! Aduh jangan, Dinda orang Jawa. Jangan sampai dia tahu. Tapi beginilah hasilnya.

Tapi kalau dilihat-lihat, yah dia begitu romantis, karena memang jatuh cinta pada orang yang sepadan dengan dirinya, bukan Dinda yang dipilihnya. Sekali lagi Dinda percaya bahwa cinta hadir dari mata turun ke hati. Dan prialah yang memperjuangkan cintanya. Bahkan begitu besar pengorbanannya pada wanita indo itu hingga rela berpindah ke kepercayaan lain. Tapi kalau Dinda nanti dipilih, pria macam apa yang akan memilih Dinda? Apakah Dinda akan mencintainya? Apakah Dinda akan mengaguminya? Cinta yang berdasarkan apa? Dinda kan suka yang seperti itu. Sudah ditimbang-timbang, walaupun akhirnya berat sebelah. Tapi sampai kapan dan bahkan bagaimana Dinda bisa sampai di pelaminan. Oh Tuhan, sekian lama Dinda berharap, dan berharap, dan terus berharap. Bagaimana pula saat Engkau menumpulkan pengharapanku melaui teman-teman yang mengejekku. Tapi aku tetap mempertajam diri, dengan terus berharap dan terus jatuh cinta pada bayangan akan segala keindahan pada dirinya. Tapi itu semua kan cuma bayangan. Aku pun belum pernah bertemu denganMu. Namun aku percaya dengan sepenuh hati bahwa Engkau ada dan nyata dalam hidupku. Dinda percaya kok kalau Dinda benar-benar jatuh cinta. Ya ampun masak kurang bukti. Tapi nanti kalau Dinda jatuh cinta lagi, cinta yang berdasarkan apa? Dan sampai kapan? Dinda ingin diperlakukan istimewa seperti itu. Sungguh ingin. Oh Tuhan, waktu terus berjalan. Dan mengapa umur Dinda seperti terus berlari. Bagaimana Dinda bisa memulai hubungan yang baru? Mencari pria lain? Sedari dulu Dinda sulit untuk bisa menjalin hubungan. Karena, ya karena Dinda penuh pemikiran. Dinda penuh pertimbangan. Dan yang dibutuhkan pria itu adalah cinta serta kecantikannya. Diam diam Dinda merasa bahwa sifat-sifat positif dalam dirinya lumer seketika. Tuhan apa saja sih yang Kau lakukan selama ini? Aku telah berdoa dan bahkan menangis dan menjerit dalam hatiku. Dinda sulit jatuh cinta. Walaupun Dinda enjoy terus menerus jatuh cinta dan memikirkan pria itu dari jauh. Tapi Dinda harus menerima kenyataan, bahwa memang Dinda bukanlah apa-apa. Bukan siapa-siapa. Dinda nggak punya modal untuk memilih. Dinda spesial di mata Dinda sendiri. Tapi Dinda nggak ada apa-apanya. Dan toh inilah pada akhirnya. rencanaMu yang Kau nyatakan. Dinda, coba pikirkan, apa arti doamu? Bila toh Dinda harus bersikap tidak seperti biasanya dan berpura-pura di hadapan pria yang satu itu. Dan bahkan menjadi orang lain demi pria yang hanya menganggap Dinda sebagai teman biasa, bisikan itu lirih tapi menghentakkan Dinda. Bila toh ejekan-ejekan itu hendak menyadarkan Dinda, bahkan mungkin membuat Dinda lebih bersikap dewasa.
Rasa kesetiaanku menjadi saksiku. Bahkan untuk menjadi pelaku-pelaku firman, dengan penuh kesulitan aku menjalankannya. Mengikuti perintahMu untuk melakukan yang baik, yang benar dan yang sempurna saja aku benar-benar harus mengerahkan pikiran dan tenagaku. Itu pun belum tentu benar. Kalau pun benar dihadapanMu, apakah juga bisa membuat dia berpaling padaku? Engkau sedang membentukku, selagi aku terus mendoakan pria ini. Namun pengharapanku, Kau buat aku seperti orang yang kalah. Mengapa dia justru memilih wanita yang lain? Apakah Engkau mencoba untuk menyadarkanku?
Oh, tidak, tentunya jawab Dinda sambil berhenti bernapas sejenak. Perlahan dia kembali berpikir.
Tentunya tentang kebesaran kuasaMu. Betapa pada awalnya Engkau membuat aku membuka hati begitu lebar, padahal aku telah sulit untuk jatuh cinta. Masa laluku yang tak ingin ku buka lagi. Dan ada saat dimana Engkau merajut dan membentuk buah pikiranku. Sehingga aku menjadi dewasa. Engkau memberi makna dalam hidupku, bahwa segala sesuatu yang Engkau perbuat pasti ada maksud dibaliknya. Betapa dari latar belakang pemikiranku, juga kepribadianku. Kau merombak jalan pikiranku. Engkau membuat aku terjatuh, pada saat teman-temanku mengejekku. Tapi Engkau memampukan aku bangun karena cinta yang Kau ajarkan. Cinta yang kuat, bahkan dengan sangat kuat Engkau menjatuhkan aku, mendengar berita pernikahan itu, agar kini aku bisa berdiri dan bagun. Sekali lagi dengan kekuatan cinta yang Kau ajarkan. Kini aku pulihkan aku. Melaui pertolonganMu.

Sungguh Kau Allah yang berkuasa.

Bahwa Kau meyakinakanku dan seraya berkata, Aku penuh kasih, dan Aku mau mengajarimu tentang KasihKu.
KasihKu begitu kuat, namun tulus.
Tapi caraKu tidak seperti rencanamu.
Dengan penuh kasih Aku membalur luka-lukamu.

Dinda teringat betapa sedih dan hancur hatinya berkeping-keping, bahkan seperti debu.
Yah debu yang halus. Terngiang juga bahwa ia dibentuk dari debu, dan akan kembali seperti debu.
Dinda yang begitu hijau dengan segala mimpinya, datang membawa beban dari masa lalunya yang seperti debu. Yang berlalu begitu saja ditiup angin.
Dan hancur seperti debu kembali. Tapi debu itu juga melambangkan hasrat, betapa rindu yang mendalam singgah di dalam diri Dinda.
Dinda mengerti sekarang maksud dari ajaran-ajaran yang diterimanya.
Dengan penuh ketelatenan Tuhan mengajarinya, dengan penuh ketekunan Dinda terus berharap.
Dengan peluh dan tangis Dinda terhuyung-huyung dan bangkit.
Inilah cinta yang sesungguhnya.
Seperti ranting pada pokok anggur yang benar.
Indah sekali.
Dinda terpaku.

Siapa pun nanti yang memilih Dinda, Dinda berdoa untuk dia. Dan satu hal, bahwa hatinya pernah tertambat begitu lama dan cintanya kuat hanya untuk satu orang saja. Pikir Dinda sambil menelan kepahitan. Tapi aku masih menyimpan rasa cintaku padanya. Walaupun pada akhirnya seperti sekarang ini, Dinda pun mengakuinya. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Tuhan ajarkan aku terus berharap! After all, tomorrow is another day, kutip Dinda dari sebuah novel ternama.


Mietzano Oktober 2010

Comments

Popular Posts